Kadang kita tak hentinya meminta waktu, meminta kesempatan lagi kepada orang lain, kepada semesta, bahkan kepada Tuhan. Sebuah kesalahan yang sudah kamu lakukan, jika itu diperbuat tanpa ada unsur kesengajaan, hanya mengikuti kata hati, dan itu salah, maka kamu pasti ingin memperbaikinya sepenuh hati.
Namun apa daya? Waktu itu sudah dirancang Tuhan dan dieksekusi semesta berputar searah jarum jam, atau perputaran jarum jam itu sendiri yang mengikuti arah berjalannya waktu. Entahlah, yang pasti waktu terus berjalan, ke depan. Kata “seandainya” takkan pernah habis terlintas dalam benak seseorang yang sudah melakukan kesalahan, tanpa ia sengaja. Kata tersebut sepertinya bergandengan dengan benda nista bernama penyesalan.
Tak sepenuhnya nista. Dalam sebuah penyesalan, meskipun selalu datang terlambat, justru keterlambatan itu yang membuat kita harus lebih berhati-hati. Kamu mungkin bisa memutar jarum jam ke arah yang sebaliknya, tetapi kamu tak akan pernah bisa memutar waktu kembali. Semuanya tak akan pernah sama lagi.
Jika kamu bersungguh memperbaiki kesalahan, maka hal paling masuk akal setelah melewati semua fase “denial” dengan segala “seandainya” dan penyesalan adalah tetap melangkah ke depan, menjadikan yang di belakang sebagai pelajaran. Seperti jarum detik yang terus berjalan, perlahan mengajak jarum menit dan jam maju, melewati semua.
“Karena tak ada yang bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu selain perbuatanmu kini, dan di masa depan nanti. Untuk memulainya, kamu sendirilah yang harus memberi waktu untuk dirimu sendiri.”